Perkara terbesar yang diperintahkan
Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara
terbesar yang dilarang oleh Allah adalah syirik, yaitu menyembah sesuatu yang
lain di samping menyembah Allah. Dalilnya adalah firman Allah:
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. 4:36)
Perkataan “perintah Allah yang paling agung adalah
tauhid yakni mengesakan Allah dalam beribadah.”
Secara
etimologi makna tauhid
berasal dari wahhada-yuwahhidu-tauhidan yakni menjadikannya esa tiada
ada duanya. Penulis mendefinisikan
tauhid dengan pengesaan Allah dalam ibadah. Beliau menghendaki definisi
tauhid yang para rasul diutus untuk merealisasikannya. Sebenamya makna tauhid secara umum ialah
pengesaan Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan nama serta sifat-sifat Allah. Ini
adalah pembagian tauhid yang tiga. Adapun penulis di sini mendefinisikan tauhid
dengan pengesaan Allah dalam beribadah yaitu untuk menerangkan jenis tauhid
yang menjadi sumber persengketaan (antara rasul dan umatnya). Untuk menegakkan
tauhid inilah para rasul diutus, diturunkan kitab-kitab suci dan disyariatkan
jihad yaitu untuk tauhid uluhiyah. Dan makna
mengesakan Allah dalam ibadah ialah dalam niat, perkataan dan perbuatan
yaitu mengesakan Allah dalam perkataan, perbuatan dan niat. Ibadah yang
dimaksud penulis adalah ibadah
syar’iyyah yaitu tunduk kepada segala perintah syariat yang Allah
turunkan. Perintah syariat yang Allah turunkan ialah melaksanakan hukum yang
telah dibebankan.
Adapun ibadah kepada Allah secara
kauniyah yaitu tunduk kepada perintah Allah yang bersifat kauniyah (universal).
Ibadah kauniyah ini bersifat umum untuk semua makhluk yang tunduk kepada takdir
Allah Ta’ala. Perbedaan antara ibadah
syar’iyah dan kauniyah ialah sebagai berikut:
Perintah (ibadah) syar’i adalah syariat
yang dibebankan kepada hamba-hamba-Nya. Perintah (ibadah) kauniyah adalah
apa-apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah terhadap hamba-hamba-Nya
baik yang mukmin maupun yang kafir, yang baik maupun yang buruk, misalnya
sakit, miskin, kematian orang yang dicintai dan lain-lain. Dalil yang
menunjukkan adanya ibadah kauniyah ialah Firman Allah
إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً
“Tidak ada seorangpun di langit dan di
bumi, kecuali akan datang kepada Yang Malta Pemurah selaku seorang hamba.” [QS. Maryam ayat
93.]
Ibadah kauniyah ini tidak khusus untuk
orang mukmin, akan tetapi untuk semua makhluk. Adapun ibadah yang dimaksud
dalam bab ini —yang merupakan makna tauhid- adalah ibadah syar’iyyah yang hanya
dilaksanakan oleh orang-orang mukmin dan shalih saja.
Perkataan penulis “dan larangan yang
terbesar adalah syirik.”
Asal makna syirik adalah bagian.
Seseorang dikatakan menyekutukan Allah apabila dia memberikan bagian (hak
Allah) kepada sesuatu yang lain itu. Dan larangan Allah yang terbesar adalah
larangan berbuat syirik. Karena hak yang paling besar adalah hak Allah -Hak
tersebut ialah mengesakan Allah dalam ibadah. Jika Allah disekutukan dengan
sesuatu yang lain berarti telah menyia-nyiakan hak yang terbesar tersebut.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatican dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata:
“Aku bertanya kepada Rasulullah —atau Rasulullah ditanya: “Dosa apakah yang
paling besar?”
Rasulullah menjawab:
أن تجعل لله ندًّا وهو خلقك
“Engkau menyekutukan Allah sementara
Dia-lah yang telah menciptakanmu….” [Hadits int dikeluarkan oleh
Al-Bukhary (8/ 492-Fath), Muslim (no 86).]
Rasulullah berkata kepada Muadz Bin
Jabal:
أتدري ما حق الله على عباده ؟ قال : الله ورسوله أعلم . قال : حق الله على عباده أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئاً
“Hai Muadz, tahukah engkau apakah hak
Allah atas hamba-Nya?” Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Rasulullah bersabda: “Hak Allah atas hamba-Nya ialah hendaknya mereka
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu yang lain.” [Hadits int
dikeluarkan oleh Al-Bukhary (no 5968). Muslim (no 48/30)]
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah
mempunyai hak atas hamba-Nya. Barangsiapa menyia-nyiakan hak tersebut berarti
ia telah menyia-nyiakan hak yang terbesar.
Perkataan penulis “yaitu berdo’a
(beribadah) kepada selain Allah .”
Ini adalah defenisi syirik yaitu
menjadikan tuhan yang lain selain Allah, sama halnya berupa malaikat atau
seorang rasul atau seorang wali atau batu ataupun seorang manusia yang mereka
sembah sebagaimana mereka menyembah Allah. Bentuk ibadah tersebut bias berupa
berdoa kepadanya, meminta bantuan kepadanya, mempersembahkan sembelihan atau
nazar untuknya atau bentuk-bentuk ibadah yang lainnya. Inilah syirik besar.
Syirik besar ada empat macam:
1. Syirik dalam berdo’a yaitu
ia merendahkan diri kepada selain Allah Ta’ala, seperti kepada nabi,
malaikat atau wali dengan bentuk-bentuk perbuatan yang dapat mendekatkan diri
kepada mereka seperti shalat, istighatsah dan isti’anah serta berdoa kepada
orang yang sudah mati atau yang tidak hadir dan lain-lain yang merupakan
perbuatan yang seharusnya dikhususkan untuk Allah. Dalilnya Firman Allah
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka
mendo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya; maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah)” [QS. Al-Ankabut ayat 65.]
2. Syirik dalam niat, kehendak dan maksud: Yakni manakala melakukan
ibadah tersebut semata-mata ingin dilihat orang, atau untuk kepentingan dunia
semata. Dalilnya adalah firman Allah
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ – أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali naar dan lenyaplah
di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan.” [Hud ayat 15-16]
قال ابن القيم رحمه الله : أما الشرك في الإرادات والنيات فذلك البحر الذي لا ساحل له، وقلَّ من ينجو منه، فمن أراد بعمله غير وجه الله، ونوى شيئًا غير التقرب إليه، وطلب الجزاء منه فقد أشرك في نيته وإرادته…
Ibnul Qayyim berkata: “Adapun syirik
dalam kehendak dan niat adalah wilayah yang sangat luas ibarat laut yang tak
bertepi. Sedikit sekali orang yang terlepas dari masalah ini. Barangsiapa
beramal menginginkan selain wajah Allah dan meniatkan sesuatu selain untuk
mendekatkan din kepada Allah serta menghendaki balasan dari selain-Nya, maka
orang tersebut telah melakukan kemusyrikan dalam niat dan kehendak.” [Al
Jawabul Kaafy (hal 115).]
Syirik dalam niat dan kehendak
dikategorikan sebagai syirik besar jika dilakukan dalam bentuk yang telah kita
terangkan di atas, yaitu pada dasarnya ia melakukan amalan tersebut karena
riya’ semata atau untuk kepentingan dunia semata, sama sekali tidak menghendaki
wajah Allah atau kampung akhirat. Jenis amalan seperti ini tidak mungkin
dilakukan oleh seorang mukmin. Karena seorang mukniln, bagaimana pun lemah
keimanannya, ia akan mengharapkan pahala dari Allah dan kampung akhirat. Namun
jika dua kehendak itu sama beratnya maka hal ini menunjukkan kurangnya keimanan
dan tauhid. Nilai amalnya berkurang karena keikhlasan yang tidak sempurna. Jika
ia beramal ikhlas karena Allah kemudian ia mendapat bagian tertentu yang ia
gunakan sebagai penopang amalan dan agamanya, maka hal tersebut tidaklah
mengapa. Karena Allah menetapkan syariat yang berkaitan dengan harta, seperti
zakat, fai’ (-harta rampasan yang didapati dengan tanpa peperangan-) dan
lain-lain yang merupakan bagian terpenting yang digunakan untuk kemaslahatan
umat Islam.” [Al-Qaulus Sadid (hal 128)]
3. Syirik dalam ketaatan, yaitu menjadikan sesuatu sebagai pembuat
syariat selain Allah atau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah dalam
menetapkan syariat dan ia ridha dengan hukum tersebut serta menjadikan hukum
tersebut sebagai agamanya dalam menetapkan yang halal dan yang haram, dalam
ibadah, pendekatan penetapan hukum dan penyelesaian persengketaan. Dalilnya
ialah firman Allah
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka
menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. At Taubah ayat
31.]
سمع عدي بن حاتم رضي الله عنه النبيَّ يقرأ هذه الآية قال إنا لسنا نعبدهم، قال أليس يحرمون ما أحلَّ الله فتحرمونه، ويحلون ما حرم الله فتحلونه؟ قال بلى قال فتلك عبادتهم
Tatkala ‘Adiy Bin Hatim (beliau
dahulunya beragam Nasrani-ed) mendengar Rasulullah membaca ayat ini, ia
berkata: “Kami tidak menyembah mereka!” Rasulullah menjawab: “Bukankah tatkala
mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah kalian ikut mengharamkannya dan
tatkala mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah kalian juga ikut
menghalalkannya?” Adiy menjawab: “Benar!” Kata Rasullulah: “Itulah bentuk
peribadatan kalian kepada mereka.” [Hadits riwayat oleh At-Tirmidzy
(8/492-Tuhfah), Ibnu Jarir (14/209). Tahkik Mahmud Syakir, Al Baihaqy (10/116)
dan lain-lain Syeikh Islam Ibnu Taymiyah menghasankan hadits tersebut dalam
kitabnya Al Iman hal 64, Syeikh Al Albany dalam Ghayatul Haram (no 6) dan dalam
Shahih At-Tirmidzy (3/56) di dalam sanad tersebut ada seorang rawi yang bemama
Ghazhif Bin 'Ain, Daruquthny menyebutkannya dalam kitabnya Adh-Dhu'afa. Ibnu
Hibban menyebutkannya dalam kitab At Tsiqaat.]
4. Syirik dalam kecintaan: Yaitu mengambil makhluk sebagai tandingan
bagi Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah, lebih mentaatinya
daripada mentaati Allah serta senantiasa menyebutnya dalam setiap dzikir dan
doa mereka. Dalilnya ialah firman Allah :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah.” [ Lihat Majmu' At-Tauhid (risalah
ketiga) hal 346. dan ayat diatas QS. Al Baqarah ayat 165.]
Ibnu Qayyim laberkata: “Dalam hal ini
ada empat macam cinta yang harus dapat dibedakan. Berapa banyak orang yang
telah tersesat karena tidak dapat membedakannya.
Pertama:
Mencintai Allah.
Cinta ini semata tidak cukup untuk menyelamatkan seseorang dari azab Allah dan
mendapat pahala dari-Nya, karena orang musyrik, penyembah salib dan orang Yahudi
juga mencintai Allah
Kedua:
Mencintai apa yang dicintai Allah. Kecintaan inilah yang dapat memasukkan
seseorang ke dalam agama Islam dan mengeluarkan mereka dari kekafiran. Orang
yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling kuat dalam menjalankan
kecintaan ini.
Ketiga: Cinta
karena Allah dan cinta di jalan Allah. Hal ini termasuk keharusan dalam
mencintai apa yang dicintai Allah. Dan tidak akan lurus kecintaan kepada apa
yang dicintai Allah kecuali dengan cinta karena Allah dan cinta di jalan Allah.
Keempat:
Cinta bersama Allah.
Yaitu cinta yang berbau syirik. Setiap orang yang mencintai sesuatu bersama
Allah, berarti kecintaan tersebut bukan cinta karena Allah atau di jalan Allah,
sebab ia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah, dan
kecintaan seperti ini adalah kecintaan orang-orang musyrik.” [Al Jawabul Kafi
hal 164.]
Adapun syirik kecil ialah setiap apa
yang dilarang oleh syariat yang dapat membuka jalan menuju syirik besar dan
sarana untuk membawa kepada syirik besar tersebut. Nash-nash syar’i menyebutnya
syirik. Seperti bersumpah dengan selain Allah, melakukan riya’ dalam kadar yang
sedikit saat beribadah, perkataan dan ungkapan-ungkapan lainnya seperti ucapan Masya
Allah wa syi’ta (atas kehendak Allah dan atas kehendakmu) dan hal-hal lain
yang mengandung syirik seperti perkataan: “Kalaulah bukan karena Allah dan
karena si fulan”, “aku tidak menginginkan kecuali Allah dan kamu”, “aku
bertawakkal kepada Allah dan kepada kamu”, “kalaulah tidak karenamu tentunya
tidak akan begini”, bisa jadi hal ini dapat menjadi syirik besar tergantung
pada niat dan maksud orang yang mengucapkannya.
Perkataan penulis: “Dalilnya ialah
firman Allah [وَاعْبُدُواْ اللّهَ
وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ
شَيْئاً] “Sembahlah Allah
dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” [QS. An Nisa'
ayat 36.]“
Ayat ini mengandung dua perintah:
Perintah untuk beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik. Ada satu hal
yang menunjukkan bahwa ibadah tidak akan sempuma hingga ibadah tersebut bersih
kesyirikan, yaitu lafazh [شَيْئاً] yang disebutkan
dalam bentuk kata nakirah dalam kalimat nahi (larangan) sehingga
bermakna umum. Artinya janganlah berbuat syirik kecil maupun juga syirik besar,
sama halnya sesuatu itu berujud malaikat, nabi, wali atau makhluk lainnya.
Begitu juga dalam ayat ini Allah Ta’ala tidak mengkhususkan salah satu bentuk
ibadah, misalnya doa, shalat, tawakal dan ibadah lainnya, tujuannya agar
mencakup semua bentuk-bentuk ibadah.
Adapun syirik besar dapat mengeluarkan
seseorang dari Islam dan Allah Ta’ala mengharamkan jannah bagi pelakunya,
karena ia tidak mempunyai tauhid. Allah berfirman:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, Dan Dia mengampuni dosa yang lain
dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” [ QS. An Nisa' ayat
116.]
Adapun syirik kecil, tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam, namun ia merupakan sarana menuju syirik besar dan si
pelakunya berada dalam ancaman bahaya. Oleh karena itu hendaklah seorang hamba
berhati-hati terhadap semua bentuk syirik, karena sebahagian ulama berpendapat
bahwa ayat yang tersebut di atas mencakup semua bentuk syirik, baik syirik
kecil maupun syirik besar. Dan Firman-Nya:
[وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَلِكَ لِمَن
يَشَاءُ] “dan Dia
mengampuni dosa yang lain selain dari syirik itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya” yaitu dosa yang lebih kecil dari syirik, Allahu A’lam”
[Lihat Majmu' Fatawa (11 /663), Jami'ur Rasaail (2/254), Qaulul Mufid (1/110).]
Kemudian penulis menjelaskan Secara
rinci tiga landasan yang telah disebutkan secara global, yaitu pengetahuan
seorang hamba terhadap Rabbnya, agama dan nabinya. Adapun perkataan beliau yang
telah lalu merupakan pendahuluan untuk pembahasan selanjutnya. Atau sebagaimana
pendapat sebahagian pensyarah bahwa perkataan selanjutnya adalah perkataan yang
disisipkan sebahagian murid-murid beliau yang diambil dari keterangan Syeikh di
tempat lain. Bagaimanapun juga apa yang telah disebutkan merupakan asas yang
bagus dan bermanfaat dalam menetapkan tiga landasan tersebut.