Senin, 17 Juni 2013

TIGA LANDASAN UTAMA



Perkara terbesar yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang dilarang oleh Allah adalah syirik, yaitu menyembah sesuatu yang lain di samping menyembah Allah. Dalilnya adalah firman Allah:
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. 4:36)

Perkataan  “perintah Allah yang paling agung adalah tauhid yakni mengesakan Allah dalam beribadah.”
Secara etimologi makna tauhid berasal dari wahhada-yuwahhidu-tauhidan yakni menjadikannya esa tiada ada duanya. Penulis mendefinisikan tauhid dengan pengesaan Allah dalam ibadah. Beliau menghendaki definisi tauhid yang para rasul diutus untuk merealisasikannya. Sebenamya makna tauhid secara umum ialah pengesaan Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan nama serta sifat-sifat Allah. Ini adalah pembagian tauhid yang tiga. Adapun penulis di sini mendefinisikan tauhid dengan pengesaan Allah dalam beribadah yaitu untuk menerangkan jenis tauhid yang menjadi sumber persengketaan (antara rasul dan umatnya). Untuk menegakkan tauhid inilah para rasul diutus, diturunkan kitab-kitab suci dan disyariatkan jihad yaitu untuk tauhid uluhiyah. Dan makna mengesakan Allah dalam ibadah ialah dalam niat, perkataan dan perbuatan yaitu mengesakan Allah dalam perkataan, perbuatan dan niat. Ibadah yang dimaksud penulis adalah ibadah syar’iyyah yaitu tunduk kepada segala perintah syariat yang Allah turunkan. Perintah syariat yang Allah turunkan ialah melaksanakan hukum yang telah dibebankan.
Adapun ibadah kepada Allah secara kauniyah yaitu tunduk kepada perintah Allah yang bersifat kauniyah (universal). Ibadah kauniyah ini bersifat umum untuk semua makhluk yang tunduk kepada takdir Allah Ta’ala. Perbedaan antara ibadah syar’iyah dan kauniyah ialah sebagai berikut:
Perintah (ibadah) syar’i adalah syariat yang dibebankan kepada hamba-hamba-Nya. Perintah (ibadah) kauniyah adalah apa-apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah terhadap hamba-hamba-Nya baik yang mukmin maupun yang kafir, yang baik maupun yang buruk, misalnya sakit, miskin, kematian orang yang dicintai dan lain-lain. Dalil yang menunjukkan adanya ibadah kauniyah ialah Firman Allah
إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Yang Malta Pemurah selaku seorang hamba.” [QS. Maryam ayat 93.]
Ibadah kauniyah ini tidak khusus untuk orang mukmin, akan tetapi untuk semua makhluk. Adapun ibadah yang dimaksud dalam bab ini —yang merupakan makna tauhid- adalah ibadah syar’iyyah yang hanya dilaksanakan oleh orang-orang mukmin dan shalih saja.
Perkataan penulis “dan larangan yang terbesar adalah syirik.”
Asal makna syirik adalah bagian. Seseorang dikatakan menyekutukan Allah apabila dia memberikan bagian (hak Allah) kepada sesuatu yang lain itu. Dan larangan Allah yang terbesar adalah larangan berbuat syirik. Karena hak yang paling besar adalah hak Allah -Hak tersebut ialah mengesakan Allah dalam ibadah. Jika Allah disekutukan dengan sesuatu yang lain berarti telah menyia-nyiakan hak yang terbesar tersebut. Dalam sebuah hadits yang diriwayatican dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah —atau Rasulullah ditanya: “Dosa apakah yang paling besar?”
Rasulullah menjawab:
أن تجعل لله ندًّا وهو خلقك
“Engkau menyekutukan Allah sementara Dia-lah yang telah menciptakanmu….” [Hadits int dikeluarkan oleh Al-Bukhary (8/ 492-Fath), Muslim (no 86).]
Rasulullah berkata kepada Muadz Bin Jabal:
أتدري ما حق الله على عباده ؟ قال : الله ورسوله أعلم . قال : حق الله على عباده أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئاً
“Hai Muadz, tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya?” Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasulullah bersabda: “Hak Allah atas hamba-Nya ialah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu yang lain.” [Hadits int dikeluarkan oleh Al-Bukhary (no 5968). Muslim (no 48/30)]
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai hak atas hamba-Nya. Barangsiapa menyia-nyiakan hak tersebut berarti ia telah menyia-nyiakan hak yang terbesar.
Perkataan penulis “yaitu berdo’a (beribadah) kepada selain Allah .”
Ini adalah defenisi syirik yaitu menjadikan tuhan yang lain selain Allah, sama halnya berupa malaikat atau seorang rasul atau seorang wali atau batu ataupun seorang manusia yang mereka sembah sebagaimana mereka menyembah Allah. Bentuk ibadah tersebut bias berupa berdoa kepadanya, meminta bantuan kepadanya, mempersembahkan sembelihan atau nazar untuknya atau bentuk-bentuk ibadah yang lainnya. Inilah syirik besar. Syirik besar ada empat macam:
1. Syirik dalam berdo’a yaitu ia merendahkan diri kepada selain Allah Ta’ala, seperti kepada nabi, malaikat atau wali dengan bentuk-bentuk perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada mereka seperti shalat, istighatsah dan isti’anah serta berdoa kepada orang yang sudah mati atau yang tidak hadir dan lain-lain yang merupakan perbuatan yang seharusnya dikhususkan untuk Allah. Dalilnya Firman Allah
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” [QS. Al-Ankabut ayat 65.]
2. Syirik dalam niat, kehendak dan maksud: Yakni manakala melakukan ibadah tersebut semata-mata ingin dilihat orang, atau untuk kepentingan dunia semata. Dalilnya adalah firman Allah
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَأُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali naar dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hud ayat 15-16]
قال ابن القيم رحمه الله : أما الشرك في الإرادات والنيات فذلك البحر الذي لا ساحل له، وقلَّ من ينجو منه، فمن أراد بعمله غير وجه الله، ونوى شيئًا غير التقرب إليه، وطلب الجزاء منه فقد أشرك في نيته وإرادته
Ibnul Qayyim berkata: “Adapun syirik dalam kehendak dan niat adalah wilayah yang sangat luas ibarat laut yang tak bertepi. Sedikit sekali orang yang terlepas dari masalah ini. Barangsiapa beramal menginginkan selain wajah Allah dan meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan din kepada Allah serta menghendaki balasan dari selain-Nya, maka orang tersebut telah melakukan kemusyrikan dalam niat dan kehendak.” [Al Jawabul Kaafy (hal 115).]
Syirik dalam niat dan kehendak dikategorikan sebagai syirik besar jika dilakukan dalam bentuk yang telah kita terangkan di atas, yaitu pada dasarnya ia melakukan amalan tersebut karena riya’ semata atau untuk kepentingan dunia semata, sama sekali tidak menghendaki wajah Allah atau kampung akhirat. Jenis amalan seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh seorang mukmin. Karena seorang mukniln, bagaimana pun lemah keimanannya, ia akan mengharapkan pahala dari Allah dan kampung akhirat. Namun jika dua kehendak itu sama beratnya maka hal ini menunjukkan kurangnya keimanan dan tauhid. Nilai amalnya berkurang karena keikhlasan yang tidak sempurna. Jika ia beramal ikhlas karena Allah kemudian ia mendapat bagian tertentu yang ia gunakan sebagai penopang amalan dan agamanya, maka hal tersebut tidaklah mengapa. Karena Allah menetapkan syariat yang berkaitan dengan harta, seperti zakat, fai’ (-harta rampasan yang didapati dengan tanpa peperangan-) dan lain-lain yang merupakan bagian terpenting yang digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.” [Al-Qaulus Sadid (hal 128)]
3. Syirik dalam ketaatan, yaitu menjadikan sesuatu sebagai pembuat syariat selain Allah atau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah dalam menetapkan syariat dan ia ridha dengan hukum tersebut serta menjadikan hukum tersebut sebagai agamanya dalam menetapkan yang halal dan yang haram, dalam ibadah, pendekatan penetapan hukum dan penyelesaian persengketaan. Dalilnya ialah firman Allah
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. At Taubah ayat 31.]
سمع عدي بن حاتم رضي الله عنه النبيَّ يقرأ هذه الآية قال إنا لسنا نعبدهم، قال أليس يحرمون ما أحلَّ الله فتحرمونه، ويحلون ما حرم الله فتحلونه؟ قال بلى قال فتلك عبادتهم
Tatkala ‘Adiy Bin Hatim (beliau dahulunya beragam Nasrani-ed) mendengar Rasulullah membaca ayat ini, ia berkata: “Kami tidak menyembah mereka!” Rasulullah menjawab: “Bukankah tatkala mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah kalian ikut mengharamkannya dan tatkala mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah kalian juga ikut menghalalkannya?” Adiy menjawab: “Benar!” Kata Rasullulah: “Itulah bentuk peribadatan kalian kepada mereka.” [Hadits riwayat oleh At-Tirmidzy (8/492-Tuhfah), Ibnu Jarir (14/209). Tahkik Mahmud Syakir, Al Baihaqy (10/116) dan lain-lain Syeikh Islam Ibnu Taymiyah menghasankan hadits tersebut dalam kitabnya Al Iman hal 64, Syeikh Al Albany dalam Ghayatul Haram (no 6) dan dalam Shahih At-Tirmidzy (3/56) di dalam sanad tersebut ada seorang rawi yang bemama Ghazhif Bin 'Ain, Daruquthny menyebutkannya dalam kitabnya Adh-Dhu'afa. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab At Tsiqaat.]
4. Syirik dalam kecintaan: Yaitu mengambil makhluk sebagai tandingan bagi Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah, lebih mentaatinya daripada mentaati Allah serta senantiasa menyebutnya dalam setiap dzikir dan doa mereka. Dalilnya ialah firman Allah :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” [ Lihat Majmu' At-Tauhid (risalah ketiga) hal 346. dan ayat diatas QS. Al Baqarah ayat 165.]
Ibnu Qayyim laberkata: “Dalam hal ini ada empat macam cinta yang harus dapat dibedakan. Berapa banyak orang yang telah tersesat karena tidak dapat membedakannya.
Pertama: Mencintai Allah. Cinta ini semata tidak cukup untuk menyelamatkan seseorang dari azab Allah dan mendapat pahala dari-Nya, karena orang musyrik, penyembah salib dan orang Yahudi juga mencintai Allah
Kedua: Mencintai apa yang dicintai Allah. Kecintaan inilah yang dapat memasukkan seseorang ke dalam agama Islam dan mengeluarkan mereka dari kekafiran. Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling kuat dalam menjalankan kecintaan ini.
Ketiga: Cinta karena Allah dan cinta di jalan Allah. Hal ini termasuk keharusan dalam mencintai apa yang dicintai Allah. Dan tidak akan lurus kecintaan kepada apa yang dicintai Allah kecuali dengan cinta karena Allah dan cinta di jalan Allah.
Keempat: Cinta bersama Allah. Yaitu cinta yang berbau syirik. Setiap orang yang mencintai sesuatu bersama Allah, berarti kecintaan tersebut bukan cinta karena Allah atau di jalan Allah, sebab ia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah, dan kecintaan seperti ini adalah kecintaan orang-orang musyrik.” [Al Jawabul Kafi hal 164.]
Adapun syirik kecil ialah setiap apa yang dilarang oleh syariat yang dapat membuka jalan menuju syirik besar dan sarana untuk membawa kepada syirik besar tersebut. Nash-nash syar’i menyebutnya syirik. Seperti bersumpah dengan selain Allah, melakukan riya’ dalam kadar yang sedikit saat beribadah, perkataan dan ungkapan-ungkapan lainnya seperti ucapan Masya Allah wa syi’ta (atas kehendak Allah dan atas kehendakmu) dan hal-hal lain yang mengandung syirik seperti perkataan: “Kalaulah bukan karena Allah dan karena si fulan”, “aku tidak menginginkan kecuali Allah dan kamu”, “aku bertawakkal kepada Allah dan kepada kamu”, “kalaulah tidak karenamu tentunya tidak akan begini”, bisa jadi hal ini dapat menjadi syirik besar tergantung pada niat dan maksud orang yang mengucapkannya.
Perkataan penulis: “Dalilnya ialah firman Allah [وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً] “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” [QS. An Nisa' ayat 36.]“
Ayat ini mengandung dua perintah: Perintah untuk beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik. Ada satu hal yang menunjukkan bahwa ibadah tidak akan sempuma hingga ibadah tersebut bersih kesyirikan, yaitu lafazh [شَيْئاً] yang disebutkan dalam bentuk kata nakirah dalam kalimat nahi (larangan) sehingga bermakna umum. Artinya janganlah berbuat syirik kecil maupun juga syirik besar, sama halnya sesuatu itu berujud malaikat, nabi, wali atau makhluk lainnya. Begitu juga dalam ayat ini Allah Ta’ala tidak mengkhususkan salah satu bentuk ibadah, misalnya doa, shalat, tawakal dan ibadah lainnya, tujuannya agar mencakup semua bentuk-bentuk ibadah.
Adapun syirik besar dapat mengeluarkan seseorang dari Islam dan Allah Ta’ala mengharamkan jannah bagi pelakunya, karena ia tidak mempunyai tauhid. Allah berfirman:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, Dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” [ QS. An Nisa' ayat 116.]
Adapun syirik kecil, tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, namun ia merupakan sarana menuju syirik besar dan si pelakunya berada dalam ancaman bahaya. Oleh karena itu hendaklah seorang hamba berhati-hati terhadap semua bentuk syirik, karena sebahagian ulama berpendapat bahwa ayat yang tersebut di atas mencakup semua bentuk syirik, baik syirik kecil maupun syirik besar. Dan Firman-Nya:
[وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ] “dan Dia mengampuni dosa yang lain selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya” yaitu dosa yang lebih kecil dari syirik, Allahu A’lam” [Lihat Majmu' Fatawa (11 /663), Jami'ur Rasaail (2/254), Qaulul Mufid (1/110).]
Kemudian penulis menjelaskan Secara rinci tiga landasan yang telah disebutkan secara global, yaitu pengetahuan seorang hamba terhadap Rabbnya, agama dan nabinya. Adapun perkataan beliau yang telah lalu merupakan pendahuluan untuk pembahasan selanjutnya. Atau sebagaimana pendapat sebahagian pensyarah bahwa perkataan selanjutnya adalah perkataan yang disisipkan sebahagian murid-murid beliau yang diambil dari keterangan Syeikh di tempat lain. Bagaimanapun juga apa yang telah disebutkan merupakan asas yang bagus dan bermanfaat dalam menetapkan tiga landasan tersebut.